Pengertian dan Bagian-Bagian Dalam Hukum Syara
A. HUKUM SYARA
1. Pengertian Hukum syara
Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
2. Pembagian Hukum Syara
Hukum syara terbagi dua macam:
a. Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau meninggalkan.
b. Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
B. HUKUM TAKLIFI
1) Wajib
a. Pengertian wajib
Wajib secara etimologi adalah tetap atau pasti. Sedangkan secara terminologi, seperti yang dikemukakan Abdul Karim Zaidan, Ahli Hukum Islam Irak, wajib berarti:
Sesuatu yang diperintahkan /diharuskan oleh Allah dan RasulNya untuk dilaksanakan oleh orang mukallaf (objek hukum)dan apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya jika tidak dilaksanakan diancam dosa.
Ulama Jumhur berpendapat bahwa wajib sama dengan fardhu dalam berbagai masalah kecuali dalam satu hal yaitu dalam masalah ibadah haji. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah Fardhu adalah tuntutan untuk bertindak dalam bentuk pasti dan tuntutan itu ditetapkan dengan dalil yang Qath’i serta tidak mengandung keraguan sedangkan wajib ditetapkan dengan dalil Zhanni tetapi masih mengandung keraguan.
b. Pembagian Wajib
1. Dari segi waktu pelaksanaannya
· Wajib Muthlaq: Kewajiban yang tidak ditentukan waktu pelaksanaannya. Contoh: Mengqadha puasa Ramadhan yang tertinggal, membayar kafarah sumpah.
· Wajib Muaqqad: kewajiban yang pelaksanaannya ditentukan dalam waktu yang tertentu dan tidak sah dilakukan diluar waktu yang telah ditentukan. Jenis wajib ini dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Wajib Muwassa’: Kewajiban yang waktu yang disediakan untuk melakukannya melebihi waktu pelaksanaannya. Contoh: Shalat Dzuhur.
b. Wajib Mudhayyaq: Kewajiban yang sama waktu pelaksanaannya dengan waktu yang disediakan. Contoh: Puasa Ramadhan.
c. Wajib Dzu Syabhaini: gabungan antara wajib Muwassa’ dengan wajib Mudhayyaq. Contoh: Ibadah haji.
2. Dari segi Pelaksana
· Wajib ‘Aini: Kewajiban secara pribadi yang tidak mungkin dilakukan orang lain atau karena orang lain. Contoh: puasa dan shalat.
· Wajib Kafa’i/Kifayah: Kewajiban bersifat kelompok yang apabila tidak seorang pun melakukannya maka berdosa semuanya dan jika beberapa orang yang melakukannya maka gugur kewajibannya. Contoh: shalat jenazah.
3. Dari segi kadar yang dituntut
· Wajib Muhaddad: kewajiban yang harus sesuai dengan kadar yang ditentukan. Contoh: zakat.
· Wajib Ghairu Muhaddad: kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya. Contoh: menafkahi kerabat.
4. Dari segi kandungan perintah
· Wajib Mu’ayyan: kewajiban yang telah ditentukan dan tidak ada pilihan lain. Contoh: membayar zakat, shalat lima waktu.
· Wajib Mukhayyar: kewajiban yang objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. Contoh: kafarah pelanggaran sumpah (Al Maidah:89).
89. "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin".
2) Mandub
a. Pengertian mandub
Menurut bahasa mandub adalah sesuatu yang dianjurkan. Sedangkan menurut istilah seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, adalah suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan RasulNya dimana akan diberi pahala orang yang melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang melaksanakannya. Mandub disebut juga sunnah, nafilah, mustahab, tathawwi’, ihsan, dan fadilah.
b. Pembagian mandub
1. Sunnah muakkad (sunnah yang dianjurkan)
Yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkannya. Contoh: shalat sunnah dua raka’at sebelum fajar.
2. Sunnah ghairu muakkad (sunnah biasa)
Yaitu sesuatu yang dilakukan Rasulullah namun bukan menjadi kebiasaannya. Contoh: shalat sunnah sebelum zhuhur yang kedua kali.
3. Sunnah al zawaid
Yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasulullah sebagai manusia. Misalnya, sopan santun dalam makan,minum dan tidur.
3) Haram
a. Pengertian haram
Kata haram secara etimologi berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Secara terminologi ushul fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan RasulNya, dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah diberi pahala. Contoh: larangan berzina
23. "Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah[ lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar".
b. Pembagian haram
a. Al muharram li dzatihi: sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemadharatan bagi kehidupan manusia, dan kemudharatan itu tidak bisa terpisah dari dzatnya.contoh:larangan zina,larangan menikahi mahram.
b. Al muharram li ghairihi: sesuatu yang dilarang bukan karena esensinya, karena secara esensial tidak mengandung kemudharatan, namun dalam kondisi tertentu, sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esensial.contoh: larangan melakukan jual beli pada waktu azan shalat jum’at (al jumuah:9)
9. " Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui".
4) Makruh
a. Pengertian makruh
Secara bahasa kata makruh berarti sesuatu yang dibenci. Dalam istilah ushul fiqh, makruh adalah ssesuatu yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, dan jika ditinggalkan akan mendapat pujian dan jika dilanggar tidak berdosa.
b. Pembagian makruh
a. Makruh tahrim, yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat secara pasti, tetapi dalil yang menunjukkannya bersifat zhanni. Contoh: larangan memakai bahan sutera dan perhiasan emas bagi laki-laki.
b. Makruh tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya. Contoh: memakan daging kuda saat sangat butuh waktu perang. Sebagian ulama Hanafiyah menganggap haram namun jika sangat dibutuhkan waktu perang maka dibenarkan namun dianggap makruh.
5). Mubah
a. Pengertian Mubah
Secara etimologi, mubah artinya boleh, atau disebut juga ma’zun (yang diizinkan)/izhhar(penjelasan). Secara terminologi, ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh:
1. Sesuatu yang diserahkan syar’i kepada mukallaf untuk melaksanakan atau tidak.
2. Menurut Imam al-Syaukani, adalah: Sesuatu yang apabila dikerjakan atau ditinggalkan tidak mendapat pujian.
3. Menurut Imam al-Ghozali: Sesuatu yang ada keizinan dari Allah Ta’ala untuk melakukan atau tidak melakukannya, yang pelakunya tidak diembeli dengan pujian atau celaan dan orang yang tidak melakukannya tidak pula diembeli pujian dan celaan.
Ungkapan yang menunjukkan mubah:
1. Nash yang shahih (jelas). Contohnya Kerjakanlah jika kamu mau atau tinggalkanlah jika kamu mau.
2. Nash yang menunjukkan tidak dikenakan dosa jika perbuatan itu dilakukan. Contohnya dalam QS.al-Baqoroh:229, tentang kebolehan khulu’:
[229]. "Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya".
[144]. "Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim"..
[144] ayat inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh. Kulu' yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut 'iwadh.
maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya…
3. Lafal yang mengandung perintah untuk melaksanakan sesuatu, tetapi ada indikasi yang menunjukkan bahwa perintah itu hanya untuk kebolehan saja. Contohnya dalam QS.7:31:
Makan dan minumlah…
4. Nash yang menunjukkan kehalalan sesuatu. Misalnya, kehalalan mengkonsumsi makanan dan sesuatu yang baik. Dihalalkan bagimu pada ,malam hari bulan puasa bercampur denagn istri-istri kamu…(QS.2:187)
5. Ibadah al-Ashliyyah, yaitu sesuatu yang tidak ada dalil yang menunjukkan diperintahkan/dilarang untuk melakukannya. Oleh sebab itu ulama fiqh mengatakan “Asal segala sesuatu adalah boleh, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan perintah (untuk melakukan) atau melarang (untuk meninggalkan).
Dilihat dari segi keterkaitannya dengan mudarat dan manfaat, ulama-ulama ushul fiqh mengemukakan mubah kedalam 3 bentuk, antara lain:
1. Mubah yang apabila dilakukan/tidak dilakukan tidak mengandung mudarat, xseperti makan, minum, dan berpakaian.
2. Mubah yang apabila dilakukan mukallaf tidak ada mudaratnya, sedangkan perbuatan itu sendiri pada dasarnya diharamkan. Misalnya makan daging babi saat keadaan darurat.
3. Sesuatu yang pada dasarnya sifatnya mudarat dan tidak boleh dilakukan menurut syara’, tetapi Allah memaafkan pelakunya, sehungga pebuatan itu menjadi mubah. Contohnya, mengerjakan pekerjaan haram sebelum islam seperti mengawini ibu tiri.
B. PEMBAGIAN HUKUM WADH’I
1. Sabab
a. Pengertian Sabab
Sabab secara etimologi adalah sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu tujuan. Secara terminologi sabab adalah sesuatu yang keberadaannya dijadikan syar’i sebagai pertanda keberadaan suatu hukum, dan ketiadaan sabab sebagai pertanda tidak adanya hukum. Misalnya, Allah menjadikan zina sebagai sabab ditetapkannya hukuman, karena zina itu sendiri bukanlah penyebab ditetapkannya hukuman, tetapi penetapan hukuman itu adalah dari syar’i.
b. Pembagian sabab
1. Dari segi objeknya:
a. Sebab al-waqti, seperti tergelincirnya matahari sebagai pertanda wajibnya shalat zhuhur (QS.17:78) “Dirikanlah shalat karena telah tergelincirnya matahari…”.
b. Sebab al-ma’nawi, seperti mabuk sebagai penyebab diharamkannya khamr.
2. Dari segi kaitannya dengan kemampuan mukallaf:
a. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan mampu dilakuka. Misalnya, jual beli yang menjadi penyebab pemilikan harta, pembunuhan sengaja menyebabkan dikenakan hukuman dan akad nikah disebabkannya dihalalkan hubungan suami-istri. Sebab seperti ini terbagi lagi menjadi 3, yaitu:
· Sebab yang diperintahkan syara’. Contohnya, nikah menjadi penyebab terjadinya hak waris mewarisi dan nikah itu diperintahkan.
· Sebab yang dilarang syara’. Seperti pencurian sebagai penyebab dikenakan hukuman potong tangan dan pencurian itu sendiri dilarang.
· Sebab yang diizinkan(ma’zun bihi). Misalnya, sembelihan segai penyebab dihalakannya hewan sembelihan, dan penyembelihan itu sendiri adalah sesuatu yang mubah.
b. Sebab yang bukan perbuatan mukallaf dan tidak mampu untuk dilakukan. Contohnya, tergelincirnya matahari sebagai penyebab wajibnya shalat zuhur.
3. Dari segi hukumnya:
a. Sebab al-masyru’, yaitu semua yang membawa pada kemaslahatan dalam pandangan syar’i sekalipun dibarengi kemafsadatan secara zhahir, seperti jihad.
b. Sebab ghairu al-masyru’, yaitu sebab yang membawa kepada mafsadat dalam pandangan syar’i sekalipun didalamnya terkandung pula kemaslahatan secara zhahir, seperti adopsi.
4. Dari segi pengaruhnya terhadap hukum:
a. Asbabul mu’sir filhukmi (‘illat)
Contoh: mabuk sebagai sebab yang berpengaruh pada hukum, yang merupakan ‘illat keharaman khamr.
b. Assababu ghairul mu’sir fil hukmi (sebab yang tidak berpengaruh pada hukum)
Contohnya: waktu sebagai penyebab wajibnya shalat.
5. Dari segi jenis musabbab:
a. Sebab bagi hukum taklifi, seperti munculnya hilal sebagai pertanda kewajiban puasa.
b. Sebab untuk menetapkan ahk milik, melepaskan/menghalalkannya. Misalnya, jual beli sebagai penyebab kepemilikan barang yang dibeli.
6. Dari segi hubungan sabab dengan musabab:
a. Sebab al-syar’i, seperti tergelincirnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat zuhur.
b. Sebab al-‘aqli (sebab yang hubungannya dengan musabbab didasarkan pada hukum adat kebiasaan atau ‘urf), seperti tubuh merasa tidak sehat karena ada penyakit.
2. Syarth
a. Pengertian Syarth
Secara etimologi syarth ialah syarat/’alamah/pertanda. Secara terminologi ialah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan berada diluar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya hukum pun tidak ada.
b. Macam-macam syarth
1. Dari segi kaitannya dengan sabab dan musabbab, dibagi menjadi dua:
a. Al-syarth al-mikammil li al-sabab (syarat penyempurnaan sebab) seperti haul dalam kewajiban zakat pada harta yang gtelah mencapai satu nisab.
b. Al-syarth al-mikammil il al-musabbab (syarat yang menjadi penyempurnaan bagi musabbab), seperti kemampuan menyerahkan barang sebagai penyempurnaan sebagai akad jual-beli.
2. Dari segi pensyaratannya:
a. Al-syarth al syar’i (syarat yang ditentukan syar’i terhadap berbagai hukum), seperti persyaratan yang ada dalam muamalah atau ibadah.
b. Al-syarth al-ja’li (syarat yang dibuat para mukallaf), seperti membawa barang yang telah dibeli kerumah pembeli sebagai syarat yang disepakati penjual & pembeli saat akad jual beli berlangsung.
3. Dari segi hubungan syarth dengan masyyruth
a. Al-syarth al-syar’i (syarat yang hubungannya dengan yang disyaratkan didasarkan atas hukum syara’), seperti wudhu uuntuk shalat.
b. Al-syarth al’aqli (syarat yang disyaratkan didasarkan atas nalar manusia).
c. Al-syarth al-‘adi (syarat yang hubungannya dengan yang disyaratkan didasarkan kepada adat kebiasaan/’urf).
3. Mani’
a. Pengertian Mani’
Secara etimologi mani’ berarti halangan, sedangkan secara terminologi adalah sifat zhahir yang dapat diukur yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau ketiadaan sebab.
b. Macam-macam Mani’
1. Dari segi pengaruhnya kepada hukum dan sebab
· Mani’ yang berpengaruh terhadap sabab, karena mani’ merusak hikmah yang ada pada sabab. Contoh: hutang menyebabkan batalnya kewajiban zakat, karena harta tersebut tidak mencapai satu nishab lagi (sabab).
· Mani’ yang berpengaruh terhadap hukum, yang artinya menolak adanya hukum meskipun ada sabab yang mengakibatkan adanya hukum.
a. Mani’ yang tidak berkumpul dengan hukum taklifi, yaitu sesuatu yang menyebabkan hilangnya akal sehingga menyebabkan terhalangnya taklif.
b. Mani’ yang bersamaan dengan ahliyyah taklif, tetapi mani’ itu menghilangkan taklif.
c. Mani’ yang menghilangkan kemestian taklif, dan membawa seseorang untuk bersikap memilih.
Ulama Hanafiyah membagi mani’ kepada lima macam, yaitu:
1. Mani’ yang menyebabkan tidak berlakunya akad, seperti objek jual beli tidak ada.
2. Mani’ yang menyebabkan akad tidak sempurna bagi orang ketiga di luar akad, seperti Bai’ Al Fudhuli.
3. Mani’ memulai hukum, seperti khiyar Syarth dalam jual beli.
4. Mani’ untuk menyempurnakan hukum, seperti keberadaan khiyar Ru’yah dalam jual beli.
5. Mani’ yang menghalangi sifat mengikat suatu hukum, seperti adanya cacat dalam barang yang dibeli.
4. Sah, Fasad, dan Batal
a. Pengertian Sah, Fasad, dan Batal
Secara etimologi sah atau Shihhah atau shahih artinya sakit. Secara terminologi, sah yaitu tercapainya sesuatu yang diharapkan secara syara’, apabila sebabnya ada, syaratnya terpenuhi, halangan tidak ada, dan berhasil memenuhi kehendak syara’ pada perbuatan itu.
Secara etimologi fasad berarti perubahan sesuatu dari keadaan yang semestinya. Secara terminologi menurut jumhur ulama sama dengan batal. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah adalah kerusakan yang tertuju kepada salah satu sifat, sedangkan hukum asal perbuatan itu disyari’atkan.
b.Status Sah, fasad, dan batal
Wahbah Al Zuhaili mengatakan bahwa yang terkuat dalam pendapat mayoritas ulama ushul fiqh yang mengatakan bahwa sah, fasad, dan batal termasuk dalam hukum wadh’i karena yang dimaksudkan dengan sah adalah tercapainya ketentuan syara’ dalam suatu perbuatan, dan batal atau fasad, tidak terdapatnya pengaruh syara’ dalam perbuatan tersebut.
5. ’Azimah
a. Pengertian ‘Azimah
Secara etimologi ‘azimah adalah tekad yang kuat. Sedangkan secara terminologi adalah hukum-hukum yang telah disyari’atkan Allah kepada seluruh hambaNya sejak semula. Jumhur ulama menyatakan bahwa yang termasuk ‘azimah adalah kelima hukum taklifi yaitu wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah.
b.Macam-macam ‘Azimah
1. Hukum yang disyari’atkan sejak semula untuk kemashlahatan umat manusia seluruhnya, seperti ibadah dan mu’amalah.
2. Hukum yang disyari’atkan karena ada sesuatu sebab yang muncul, seperti hukum mencaci berhala atau sesembahan agama lain.
3. Hukum yang disyari’atkan sebagai pembatal hukum yang sebelumnya, seperti peristiwa pengalihan arah kiblat.
4. Hukum pengecualian dari hukum-hukum yang umum, seperti larangan mengawini wanita yang bersuami dengan lafaz yang bersifat umum, kemudian dikecualikan dengan wanita-wanita yang menjadi budak (An Nisaa’:24).
6. Rukhshah
a. pengertian Rukhshah
Secara etimologi rukhshah berarti kemudahan, kelapangan, dan kemurahan. Secara terminologi Imam Al Baidhawi menyatakan yaitu hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil, karena adanya uzur. Jadi Rukhshsah adalah keriranganan dan kelapangan yang diberikan kepada seorang mukallaf dalam melakukan perintah dan menjauhi larangan.
b.Macam-macam rukhshah
1. Dari segi bentuk hukum asalnya
· Rukhshah melakukan adalah keringanan dalam melaksanakan suatu perbuatan yang menurut asalnya harus ditinggalkan. Contoh: memakan daging babi dalam keadaan terpaksa. (Al Baqarah:173)
· Rukhshah meninggalkan adalah keringanan untuk meninggalkan perbuatan yang menurut hukum ‘azimahnya adalah wajib atau sunnah. Contoh: kebolehan meninggalkan puasa Ramadhan bagi orang sakit atau dalam perjalanan (Al Baqarah:184).
2.Dari segi bentuk keringanan yang diberikan
· Keringanan dalam bentuk menggugurkan kewajiban, seperti bolehnya meninggalkan shalat jum’at, haji, umrah, dan jihad dalam keadaan udzur.
· Keringanan dalam bentuk mengurangi kewajiban, seperti mengqashar shalat empat raka’at menjadi dua raka’at bagi orang yang berada dalam perjalanan jauh.
· Keringanan dalam bentuk mengganti kewajiban, seperti menggantikan kewajiban berdiri dalam shalat dengan duduk, berbaring atau isyarat dalam keadaan tidak mampu.
· Keringanan dalam bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban, seperti menangguhkan shalat zhuhur ke waktu ashar pada jama’ ta’khir karena dalam perjalanan jauh.
· Keringanan dalam bentuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban, seperti mendahulukan shalat ‘ashar pada waktu zhuhur dalam jama’ taqdim dalam perjalanan jauh.
· Keringanan dalam bentuk mengubah kewajiban, seperti pelaksanaan shalat khauf (shalat dalam perang).
· Keringanan dalam bentuk membolehkan mengerjakan perbuatan haram dan meninggalkan wajib karena udzur, seperti memakan daging babi saat keadaan darurat.
c.Hukum menggunakan Rukhshah
Pada dasarnya rukhshah itu adalah pembebasan seorang mukallaf dari melakukan tuntutan hukum ‘azimah dalam keadaan darurat, jadi dengan sendirinya hukumnya boleh. Menurut jumhur ulama menggunakan rukhshsah tergantung pada bentuk udzur yang menyebabkan adanya rukhshah itu. Jadi hukum rukhshah bisa menjadi wajib seperti dalam keadaan darurat memakan daging babi, sedangkan jika tidak menggunakan rukhshah akan dikhawatirkan dapat mencelakakan dirinya. Bisa juga menjadi sunnah seperti berbuka puasa Ramadhan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan.
B. OBJEK HUKUM (MAHKUM BIH)
Objek hukum atau mahkum nih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum syar’i.[3]
Adapun syarat-syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum menurut para ahli Ushul Fiqh adalah sebagai berikut:
1. Perbuatan itu sah dan jelas adanya; tidak mungkin memberatkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti mencat langit.
2. Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
3. Perbuatan itu sesuat yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam kemampuannya untuk melakukannya.
C. SUBJEK HUKUM (MAHKUM ‘ALAIH)
Subjek hukum atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.
Adapun syarat-syarat taklif atas subjek hukum, adalah sebagai berikut:
1. Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah.
2. Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum.
3. Ahliyah al-Ada Kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.
D. PEMBUAT HUKUM (HAKIM)
Pembuat hukum (syar’i) dalam pengertian Islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia di atas bumi ini dan Dia pula yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan kepentingan hidup di dunia maupun untuk kepentingan hidup di akhirat; baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, maupun hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitarnya.
Sumber: tantawi-ushulfiqh.blogspot.co