Guru Profesi yang Tidak "Menjanjikan" (Bag. 1)
suka duka guru |
Penulis sendiri tidak ingat persis jawaban jika ditanya cita-cita seperti di atas. Namun entah bagaimana garis kehidupan membuat penulis menjadi seorang guru untuk saat ini. Sekitar 8 Tahun sudah menggeluti profesi ini dan sudah mulai mengerti asam garamnya menjadi seorang guru.
Berawal dari keterbatasan biaya untuk bisa kuliah, akhirnya memutuskan untuk mengambil akultas keguruan karena biayanya cukup terjangkau dibandingkan dengan fakultas lainnya kala itu.
Ketika kuliah pun mulai belajar untuk mencari pekerjaan yang tidak jauh dari dunia pendidikan, alhasil beberapa tempat bimbel dan privat pun dilakoni. Perlahan namun pasti akhirnya jiwa sebagai seorang pendidik mulai terpatri di dalam diri.
Bicara masalah profesi guru, adalah salah satu dilema menurut penulis sendiri. Kalau mau jujur, profesi guru hampir mustahil untuk bertahan hidup layak saat ini. Makanya sebagian besar guru pastilah punya usaha sampingan selain mengajar di sekolah.
Sebagian guru beruntung karena sudah berstatus Pegawai Negeri Sipil karena setidaknya biaya kehidupan keluarga hingga tua masih "terjamin". sebagian lainnya lagi beruntung karena bekerja di instansi swasta yang sudah bonafide. Sehingga bisa mendapat upah lumayan untuk kehidupannya. Bahkan sebagian tertentu isntansi ini lebih menggiurkan daripada PNS.
Tapi sebagian besar guru hidup dibawah bayang-bayang "honorer". Masih lebih baik jika yang dimaksud adalah "honorer pemerintah/daerah", kenyataannya honorer yang dimaksud adalah guru yang dibayar honornya seadanya. Honor yang dibayarkan saat dana BOS (Bantuan Operasional Komputer) yang notabene 3 bulan sekali (kalau lancar). Atau honor hasil sumbangan/patungan para guru PNS di sekolahnya jika mereka dapat tunjangan. Lebih kepada belas kasihan rekan sejawat saja jika begini.
Nominalnya? sebagian besar Rp. 300.000,- perbulan, jika beruntung dapat sampai 1,5 jt perbulan. Namun jangan harap rutin tiap bulan. Kondisi ini membuat "gali lobang tutup lobang" seorang guru honorer menjadi hal yang lumrah. Bahkan mungkin bisa bertahan hidup mengandalkan hutang dari warung tetangga yang masih mau mengerti dengan keadaannya. Lagi-lagi, lebih kepada belas kasihan tetangga.
Tidak kita pungkiri bahwa zaman sekarang, profesi guru bukanlah lagi profesi dihormati seperti orang tua kita dahulu. Guru hanyalah profesi yang bisa dibanggakan di lisan saja, sebagai pemanis ucapan untuk mengundang simpati orang. Salah satu penyebabnya adalah bahwa seorang guru tidak bisa lagi 100% mendedikasikan dirinya untuk pendidikan. Pikiran harus terbagi dengan bagaiman cara memenuhi nafkah keluarga.
Oleh karena itu tidak heran jika banyak kejadian guru mulai abai dengan siswanya, atau kalaupun masih peduli, hanya sebatas aturan formal di sekolah saja. Disisi lain, siswa mulai kehilangan panutannya, bahkan justru sebagian orang tua sendiri yang mengajarkan untuk tidak menghormati gurunya. Ini menjadi semacam lingkaran setan yang tidak kunjung ketemu ujungnya.
Tentu saja tidak sesederhana itu kita mencari solusinya.
Yang ingin penulis sampaikan di sini tidak lain hanyalah sepenggal kisah tentang guru yang galau dengan kehidupannya. Tulisan ini sekadar menambah deretan panjang tentang keluh kesah guru yang dari waktu ke waktu terus bertambah.
Walaupun demikian, masih banyak insan mulia yang dengan sabar terus mendidik generasi muda bangsa ini. Mereka diam, mereka "menerima" apa adanya dengan ikhlas. Tapi sebagai bangsa yang besar tidakkah kita tergerak memikirkan nasib mereka?
Bersambung.